Sunday, February 20, 2011

Edelweis


Edelweis namaku, bukan karena aku putih bersih seperti bunga itu, tapi karena ayahku ingin aku seperti Edelweis yang tumbuh di lereng gunung. Edelweis melambangkan ketulusan hati dan cinta abadi. Akan tetapi, taukah kamu, Edelweis adalah bunga yang paling aku benci. Menurutku bunga liar itu terlalu lemah, terlalu ringkih, dan tidak menarik. Aku lebih suka Mawar. Kamu tau kenapa?


"Edel, kamu cantik banget sih pake baju itu, Aku berani bertaruh, kamu pasti bakalan jadi Prom Queen."
"Edel cantik yah."
"Wow, Edel benar-benar menakjubkan"
"Namanya sesuai dengan parasnya, cantik."

Pujian-pujian itu menerawang masuk ke telingaku, berlari-lari di otakku, dan aku lampiaskan dengan senyuman. Sempurna.

Aku menatap wajahku di cermin, jemariku menyapu wajahku dengan lembut, aku cantik.

"Edelweis, setelah pesta prom itu, kamu harus segera pulang, besok Andreas dan keluarganya datang kemari, kamu siap kan, sayang?" Suara itu membangunkanku dari lamunan di depan cermin. Suara Ibuku yang begitu anggun dan bersahaja.

"Tapi, Ma, Apa Mama yakin ini akan baik untukku?"

"Tentu, Sayang. Mama selalu tahu itu yang terbaik untukmu. Andreas adalah pria yang hebat, dia jodoh kamu."

Aku terdiam, enggan menjawab atau bahkan membantah ucapan Ibuku, karena aku tahu, itu tidak ada gunanya.

***

Hari ini, Hari yang telah ditentukan. Seharusnya ini menjadi hari yang paling bahagia untukku, karena aku akan segera menjadi seorang istri pengusaha ternama. Aku akan mendapatkan segalanya. Aku bukan lagi sebuah bunga liar.

Aku memasuki pintu Gereja didampingi oleh seseorang yang aku panggil Papa. Seseorang yang memberikanku sebuah nama dan mengajarkanku sebuah kebesaran hati.
"Apakah kamu yakin anakku?" bisiknya perlahan.
Aku menatap wajahnya yang kian menua, aku melihat bayangan air di matanya. "Jangan sedih, Daddy, Aku yakin." Jawabku lantang.

Kini di hadapanku berdiri seseorang yang akan menjadi bagian hidupku, Seseorang yang seharusnya bisa menopangku, seseorang yang menjadi pendampingku, tapi dia begitu asing.
Aku menangis, bukan sebuah tangisan bahagia, dan juga bukan tangisan kesedihan. Ini hanya tangisan penyesalan. 

Seandainya aku menjadi sebuah Mawar, mungkin aku masih bisa melindungi diriku dengan duri-duriku. Tapi aku hanya bunga liar bernama Edelweis, melambangkan ketulusan hati dan keabadian. Dan hidupku hanyalah pengorbanan.

Aku tersenyum, menatap senyuman di wajah Ayah dan Ibuku. Yah, Aku hanya sebuah Edelweis.

No comments:

Post a Comment